KRAKATOA.ID, PESAWARAN — Sabtu, 18 Juni 2022, Juru Kunci Gunung Sukmo Ilang Pesawaran Lampung, Mbah Basrowi (80) ditemani dua cucunya Gilang (15) dan Beni (17) berkeinginan untuk camping di puncak utama Pegunungan Sukmo Ilang Pesawaran Lampung. Puncak Tugu, begitu warga sekitaran Way Ratai menamainya. Puncak dengan ketinggian 1.682 MDPL ini disebut juga oleh para pendaki sebagai Puncak Ratai.
Mereka berangkat dari kediaman Mbah Bas, di Dusun Sinar Tiga, Desa Harapan Jaya, Kecamatan Way Ratai, Pesawaran pukul 10.00 WIB.

Perbekalan dan peralatan nenda atau nge-camp telah dipersiapkan. Botol-botol bekas air mineral pun dimanfaatkan Gilang dan Beni untuk membawa perbekalan utama berupa air minum. Mengingat di Puncak Tugu sangat jauh dari sumber air, maka mereka berinisiatif untuk mengisi secukupnya botol-botol bekas air mineral itu dari sumber mata air sebelum pintu rimba.
Kami mendaki santai sembari melihat indahnya alam yang dapat dinikmati di sepanjang jalur pendakian. Sesekali kami berhenti untuk melepas lelah sembari menikmati hangatnya kopi dan biskuit serta bekal makanan ringan lain di carier kami.
Cuaca hari ini cukup bersahabat, tiada selembar pun awan mendung di sepanjang jalur pendakian. Uniknya jenis tumbuhan dan binatang yang hanya bisa kami jumpai di sini membuat kami berdacep kagum akan ke-Agungan Sang Pencipta. “Terima kasih Tuhan, kami masih diberikan kesempatan untuk menikmati alam ciptaan-Mu,” ucapku dalam hati.

Walau usia sudah tidak muda lagi, Mbah Basrowi tetap bersemangat menuruti keinginan dua cucu kesayangannya itu untuk bermalam di Puncak Tugu. Walau tadinya ragu, mengingat kondisi tubuh Mbah Bas yang kurang fit. Namun jangan herah, begitulah Mbah Bas, saat berada di tengah rimba, staminanya langsung pulih kembali. Hutan rimba menjadi sumber energi utama Mbah Basrowi.
Pukul 15.44 WIB kami baru sampai di Puncak Tugu. Bekal pun kami santap, karena sepanjang perjalanan perut kami kenyang dengan bekal makanan ringan, kopi dan air minum. Namun tidak dengan Mbah Bas, dikeluarkannya rokok lintingan terlebih dahulu untuk melawan hawa dingin di puncak ini. Seperti diketahui, suhu di Puncak Tugu bisa mencapai 8-10 derajat celcius, jadi wajar kalau secangkir kopi panas dan sebatang rokok sangat nikmat rasanya, pun juga menghangatkan tubuh.

Tampak Gilang dan Beni juga dengan sigap merebus air untuk menyedu kopi yang kami bawa. Inilah salah satu suasana yang dirindukan para pendaki. Menikmati bekal, menyeruput segelas kopi yang dan satu batang rokok di atas ketinggian sambil bersenda gurau.
Hari mulai gelap, kami bergegas untuk mendirikan tenda. Turun 10 meter dari puncak Tugu menjadi pilihan lokasi untuk mendirikan satu unit tenda kami. Mbah Bas yang memilih lokasi ini. Sebuah lokasi dengan luas sekira 4 X 4 meter persegi, dikelilingi pepohonan rimba, sehingga angin tidak terlalu kencang menerjang. Seperti lembah sempit. Di sisi depan tenda terbentang jurang, namun tidak terlalu mengkawatirkan karena ada satu pohon besar yang melintang, hampir menyentuh tanah.

Tiada mendung, gerimis mulai turun, sehingga kami sedikit terkejut dan terburu-buru untuk sesegera mungkin mendirikan tenda. Beni dan Gilang berbagi tugas. Beni dengan lincah mendirikan tenda, sedangkan Gilang sibuk mencari dedaunan berdaun lebar untuk alas tenda dan kayu kering untuk api unggun.
Akibat gerimis, semua kayu menjadi basah, butuh waktu lama untuk menhidupkan api. Malam semakin larut, kami pun mulai menikmatinya.
Di dalam tenda, sesekali Mbah Bas terdengar bersenadung. Beni yang menemaninya pun memijit kaki kakek kesayangannya itu. Usia memang tidak bisa dibohongi.
Tidak ada yang kebetulan di hidup kita. Begitulah mungkin yang menggambarkan pohon tumbang besar di sisi kanan tenda kami. Anehnya kami baru menyadari setelah hampir putus asa mencari kayu bakar kering. Pohon itu tertutup semak-semak. Seolah sudah disiapkan oleh Sang Pencipta untuk kami sebagai bahan baku sumber utama api unggun. Gilang terlihat antusian memotong glondongan kayu itu.

Oh iya, bagi para pendaki, kami juga menemukan tips untuk mendapatan kayu bakar di hutan jika kondisi habis hujan. Carilah yang ranting-ranting kering yang masih menggantung di pohon, 70 persen kondisinya pasti masih kering. Dan jika menemukan sampah plastik di sepanjang perjalanan, pungutlah, karena sangat berguna untuk menghidupkan api unnggun.
Kopi, makanan ringan dan rokok menjadi teman favorit kami selama bermalam di Puncak Tugu. Mbah Bas dan Beni nampak pulas tidur di dalam tenda. Sedangkan Gilang, berjaga di luar menjaga agar bara api unggun terus membara, sehingga kehangatan suhu di sekitar tenda terjaga.
Malam yang damai kami lalui di Puncak Tugu. Pagi hari kami mulai dengan segelas kopi dan sarapan.
Tak lupa kami mematikan api unggun. Memastikan bahwa api benar-benar mati, sehingga tidak membahayakan.
Buru-buru tenda dibongkar, karena di sekitaran lokasi ini kami akan menanam biji-bijian yang sudah dibawa. Begitulah Mbah Basrowi, setiap kali pergi ke hutan, selalu membawa biji-bijian tanaman. Tak jarang juga bibit pohon untuk ditanam.

Gilang dan Beni pun diajari untuk meniru apa yang dilakukan kakeknya ini selama puluhan tahun di hutan pegunungan Sukmo Ilang. Melestarikan alam.
Sebelum turun, Mbah Basrowi menyampaikan kesan dan pesannya bagi seluruh pendaki, terutama yang mendaki di Gunung Sukmo Ilang.
“Pesan saya, tujuan kita kan hanya melihat alam sekeliling Tugu (puncak), yang intinya kehobian kita semua mendaki kayak gini, ya silhaturahmi dengan alam.”
“Dan kita di sini cuma minta doa supaya kita naik gunung sehat semua, pulang sampai rumah sehat semua, jangan sampai ada halangan apapun semuanya. Dan kita bermalam di sini dengan selamat.”
Yang melegakan, Mbah Bas menyampaikan bahwa baru kali ini bisa tidur nyenyak di Puncak Tugu.
“Kalau dinginnya ya sedeng-sedeng aja, tapi ya baru ini saya tidur bisa nyenyak di hutan. Biasanya enggak bisa tidur,” pungkas Mbah Basrowi.
Pengakuan kakeknya ini membuat kedua cucunya Gilang dan Beni girang.
Usai menyampaikan pesannya, kami pun diajak turun kembali. Hari masih pagi, Minggu, 19 Juni 2022 pukul 08.37 WIB. Kami turun. Terima kasih Puncak Tugu.***