Cerita Mbah Basrowi Tahun 1966 Saat Menemukan Tugu Penanda Puncak Gunung Pesawaran

KRAKATOA.ID, PESAWARAN — Banyak pendaki yang tidak tahu ternyata tugu penanda puncak Gunung Pesawaran Lampung ditemukan oleh Mbah Basrowi (79) pada tahun 1966 silam. Gunung Ratai begitu masyarakat sekitar menyebut Gunung Pesawaran berada pada ketinggian 1682 mdpl. Ada pula yang meyebut Puncak Tugu atau Gunung Sukmo Ilang.

“Saya nemunya ini tahun sekitar tahun 1966, saat mendaki sendiri ke sana. Kondisi tugu ini waktu itu sudah ketutup akar dan rayutan (jenis tanaman liar yang merambat),” jelas Mbah Basrowi di kediamannya di Dusun Sinar Tiga, Desa Harapan Jaya, Kecamatan Way Ratai, Pesawaran, Minggu (13/11/2022).

Kepada Krakatoa.id, Mbah Bas, begitu dia dikenal menjelaskan saat menemukan tugu tersebut pada siang hari, dia harus merangkak di bawah tumbuhan liar dan akar yang merambat menutupi hampir seluruh area tersebut.

“Karena sangat rungkut (rimbun),saya harus merangkak untuk memastikan kondisi tugu itu, karena juga penasaran untuk melihat secara dekat,” jelas juru kunci Gunung Sukmo Ilang ini.

Diceritakan Mbah Bas, usai memastikan tugu tersebut, dia langsung berinisiatif untuk membersihkan akar-akaran pohon dan tanaman liar yang menutupinya.

“Karena saya kalau ke hutan membawa golok, jadi saya langsung berinisiatif membersihkan akar pohon serta tanaman-tanaman liar yang menutupi tugu itu,” jelas Mbah Bas.

Tugu Triangulasi

Tugu yang ditemukan oleh Mbah Basrowi itu dinamakan Tugu Triangulasi. Bersadarkan pantauan Krakatoa.id, Tugu triangulasi di Puncak Tugu (sebutan warga Way Ratai untuk puncak ini) memiliki sekitar 140-an cm. Tugu ini pada bagian tengahnya berisi satu batang tembaga dengan diameter sekitar 3 cm. Tembaga ini diberi pengaman berupa lapisan tembok dengan ukuran sekitar 80 cm x 80 cm dan ketebalan lapisan tembok tersebut sekitar 15 cm.

BACA JUGA :  Apple Identifikasi Masalah Penyebab Panas Berlebih pada iPhone 15

Dilansir dari Wikipedia tugu tersebut dibuat atau dibangun pada zaman penjajahan Hindia Belanda. Sejarah Triangulasi di Indonesia diawali pada tahun 1596, seorang warga negara Belanda bernama Cornelis de Houtman menggambarkan tanah jawa (banten) dalam rangka memperoleh data medan serta hasil buminya. Maka pada tahun 1849 dimulailah pemetaan topografi di Indonesia yang meliputi wilayah Jakarta dan bogor yang diawali dengan pengukuran dan pemasangan Tugu triangulasi pada tahun 1838.

Triangulasi adalah mencari titik koordinat dan jarak sebuah titik dengan mengukur sudut antara titik tersebut dan dua titik referensi lainnya yang sudah diketahui posisi dan jarak antara keduanya.

Sedangkan Tugu triangulasi adalah monumen yang dibangun agar titik yang sudah diukur dan diketahui koordinat dapat terpelihara letak dan kondisinya.

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, pada waktu itu mencari tempat yang paling tinggi untuk menentukan arah mata angin, untuk mencari titik koordinat dihitung menggunakan hukum Sinus.

Trianggulasi digunakan bidang pemetaan, navigasi, metrologi, astrometri, binokular, dan pendidikan senjata artileri.

Titik triangulasi yang ditetapkan dengan pendirian Tugu Triangulasi ini hanya dimengerti oleh orang-orang yang biasa berkecimpung dengan urusan ukur tanah, pemetaan, dan sebagainya.***