KRAKATOA.ID (VOA) — Dampak yang disebabkan oleh krisis iklim terhadap sistem pengairan Hindu Kush-Himalaya menimbulkan risiko bagi pembangunan ekonomi dan keamanan energi terhadap 16 negara di Asia, demikian ungkap para peneliti pada Rabu (24/5). Mereka menyerukan aksi nyata bersama untuk melindungi sistem air tersebut.
Cekungan dari 10 sungai besar yang mengalir dari menara air Hindu Kush-Himalaya adalah rumah bagi 1,9 triliun orang dan menghasilkan $4,3 triliun dalam PDB tahunan. Dampak perubahan iklim seperti pencairan gletser dan cuaca ekstrem sudah menimbulkan “ancaman serius”, kata lembaga kajian China Water Risk.
Para peneliti memperingatkan bahwa seluruh sungai akan menghadapi “risiko (volume) air yang meningkat dan bertambah … jika kita tidak dapat mengendalikan emisi,” dan bahwa pembangunan lebih lanjut dari infrastruktur energi yang bergantung pada air justru memperparah masalah.
Ke-10 sungai itu termasuk Gangga dan Brahmaputra yang mengalir ke India dan Bangladesh, Sungai Yangtze dan Kuning di China, serta sungai yang melintasi sejumlah negara seperti Mekong dan Salween.
Sungai-sungai tersebut menopang hampir tiga perempat pembangkit listrik tenaga air dan 44 persen pembangkit listrik tenaga batu bara di 16 negara, termasuk Afghanistan, Nepal, dan Asia Tenggara.
Kapasitas listrik sebesar 865 gigawatt (GW) di sepanjang 10 sungai dianggap rentan terhadap risiko iklim, yang sebagian besar bergantung pada air. Lebih dari 300 GW – cukup untuk menggerakkan Jepang – terletak di daerah yang menghadapi risiko air “tinggi” atau “sangat tinggi”, tambah para peneliti.
Cekungan Sungai Yangtze di China, yang menyokong sekitar sepertiga dari populasi negara itu dan sekitar 15 persen dari kapasitas listriknya, mengalami rekor kekeringan panjang tahun lalu. Anjloknya tenaga air dari sungai tersebut yang digunakan untuk pembangkit listrik tenaga Air (PLTA) turut mengganggu rantai pasokan global.
Sejak kekeringan, pemerintah menyetujui belasan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) baru untuk mengatasi gangguan PLTA di masa depan. Namun, pembangkit tersebut juga membutuhkan air dan lonjakan kapasitas di China dan India dapat semakin memperparah kekurangan.
Saat risiko iklim meningkat, negara-negara tersebut berada di bawah tekanan untuk menyusun kebijakan yang memastikan “kesesuaian” keamanan energi dan air, catat para peneliti.
“Karena pilihan daya dapat memengaruhi air dan kekurangan air dapat merusak aset daya, keamanan air harus menentukan keamanan energi,” kata para peneliti. [ah/rs]