Oleh: Ir. Ar. Agung Cahyo Nugroho, S.T, M.T.
Prof. Dr. Christine Wulandari, M.P.
Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si
KRAKATOA.ID — Keadilan sosial adalah konsep yang mengacu pada prinsip dan nilai yang menuntut perlakuan yang sama dan adil dalam hal kesempatan, hak, dan kewajiban bagi seluruh masyarakat/pemangku kepentingan pada suatu wilayah/tempat. Tujuan terbentuknya keadilan sosial adalah untuk mencapai kesetaraan pada aspek sosial, ekonomi, dan politik bagi semua individu dan kelompok dalam masyarakat. Wujud keadilan sosial adalah redistribusi sumber daya dan kekayaan untuk mengurangi kesenjangan/diskriminasi sosial dan ekonomi antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, dalam bentuk penghapusan kemiskinan, penyediaan akses pendidikan dan layanan kesehatan yang merata maupun perlindungan lingkungan hidup. Tujuan perwujudan keadilan sosial adalah untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan saling mendukung, di mana setiap individu dapat berpartisipasi secara aktif dan merasa dihargai sebagai bagian dari masyarakat.
Sementara itu, hakekat dari keadilan lingkungan adalah pada daya dukung dan daya tampung lingkungan yang terjaga secara optimal, untuk mendukung pelayanan jasa lingkungan. Keadilan lingkungan adalah distribusi manfaat dan beban lingkungan yang adil dan merata, dengan fokus untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan memastikan bahwa semua individu, terlepas dari ras, etnis, atau status sosial ekonomi mereka, memiliki akses ke lingkungan yang sehat dan memiliki tingkat kelenturan (resiliensi) yang tinggi untuk dapat berkelanjutan. Keadilan lingkungan menjadi semakin penting, dimana saat ini kondisi global sedang mengalami perubahan iklim yang merubah pola ekologi pada sebagian besar bumi. Perubahan iklim ditandai dengan banyaknya bencana iklim yang dapat mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan manusia, apalagi bagi mereka yang minim akses terhadap sumber daya. Keadilan iklim sebagai keadilan lingkungan sejatinya juga sebagai keadilan sosial karena mempengaruhi kehidupan manusianya (Wagle & Philip, 2022). Keadilan ini meliputi:
• Keadilan redistributif, yaitu hak atas pelayanan dasar. Keadilan redistributif dalam hal ini adalah hak atas tiga layanan dasar kota utama yaitu perumahan, air dan sanitasi.
• Keadilan rekognitif, yaitu hak untuk berbeda. Keadilan rekognitif berupa hak untuk diakui dan tidak didiskriminasi (othering).
• Keadilan representatif, yaitu hak untuk dapat berpartisipasi dalam membuat keputusan tentang layanan hak dasar di dalam tata kelola kota (perencanaan dan pemanfaatan ruang kota).
Salah satu bentuk keadilan lingkungan dalam pelayanan dasar adalah hak untuk dapat tempat tinggal (perumahan), termasuk didalamnya adalah kondisi tata permukiman yang layak (air bersih dan sanitasi). Menurut data dari Kementerian PUPR, 12,71 juta rumah adalah angka backlog perumahan yang sangat besar di Indonesia. Sehingga diperlukan program 1,5 juta rumah/tahun untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni di Indonesia, dan mencapai zero backlog pada tahun 2045. Sementara untuk backlog rumah tidak layak huni, pada tahun 2021 tercatat sebanyak 23 juta unit, dimana angka tersebut adalah 56,75 persen dari total rumah yang ada. Hal ini berarti bahwa banyak yang memiliki rumah tapi dikategorikan sebagai tidak layak huni (Merdeka.com, 25 Januari 2023). Angka backlog tersebut bukanlah angka yang sedikit, dan pasti membutuhkan upaya yang sangat besar dari pemerintah untuk dapat mencapai target penyelesaian masalah ini. Berbagai upaya juga telah dilakukan antara lain ekstensifikasi zona pengembangan kawasan perumahan dalam tata ruang, intensifikasi/pemadatan hunian pada kawasan pusat kota, hingga inovasi model pembiayaan bagi masyarakat untuk memiliki rumah tinggal layak huni.
Penyediaan Perumahan: Keadilan Redistributif
Lalu di mana tantangan penyediaannya terhadap lingkungan? Dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Dari pengertian tersebut, jelas bahwa kebutuhan layanan dasar harus terpenuhi dalam setiap penyelenggaraan pembangunan perumahan sebagai hal yang melekat. Permasalahan yang terjadi adalah sering terjadi ketidaksinkronan antara pembangunan kawasan perumahan dengan rencana dan program pengembangan sarana dan prasarana dasar yang diperlukan, terlebih jika pembangunan perumahan tersebut berada pada lahan yang jauh dari jangkauan layanan sarana dan prasarana dasar. Daya jangkau pembiayaan masyarakat juga berbanding terbalik dengan biaya transportasinya, dimana lokasi perumahan berada jauh dari lokasi tempat aktivitas/kerja demi memperoleh harga perumahan yang murah. Disini nampak bahwa aspek keberlanjutan lingkungan belum terjawab dengan penambahan lahan-lahan pengembangan perumahan baru di pinggir kota. Dalam UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang direvisi hingga ditetapkan menjadi UU No.6 tahun 2023 tentang tentang Penetapan Perpu No.2 Tahun 2022 menjadi Undang-Undang, perubahan atas UU No.1 tahun 2011 dinilai lebih berpihak pada investasi di bidang perumahan, dengan tujuan mengurangi backlog seperti diuraikan di atas. Munculnya UU Cipta Kerja ini mendorong partisipasi swasta untuk lebih giat dalam mengembangkan perumahan, dengan mekanisme teknis tertentu. Pemerintah selaku pelayan publik berkepentingan untuk menyediakan rumah yang layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagai bentuk keadilan redistributif.
Pemenuhan ruang perumahan melalui ekstensifikasi dipandang dapat menjadi ancaman bagi lingkungan dan menyebabkan ketimpangan sosial. Land rent yang tinggi di kawasan perkotaan dapat menjamekadi faktor pemicu meluasnya kota, melalui proses ‘partisipasi’ lahan di sekitar perkotaan untuk menampung tingginya permintaan akan lahan untuk bermukim, yang dikenal dengan Urban Sprawl. Sprawl adalah hasil interrelasi yang kompleks antara kekuatan sosial ekonomi dan budaya (Brodi, 2013). Menurutnya, terdapat 3 (tiga) kekuatan dasar yang menyebabkan terjadinya sprawl yaitu masalah pertama pertumbuhan penduduk yang mengekpansi ruang diluar perkotaan. Kedua yaitu peningkatan pendapatan penduduk sehingga memiliki kemampuan mengakses lahan yang lebih luas di area pinggir kota, dan ketiga adalah pertumbuhan industri kendaraan privat dan jaringan transportasi yang mendorong kegagalan penciptaan transportasi publik yang memadai. Urban sprawl yang diistilahkan sebagai penjalaran kota, cenderung diabaikan dalam kebijakan pembangunan suatu wilayah. Bila ditinjau dari implementasi pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, diketahui bahwa kebijakan sektor pertanian sering tidak ada korelasi/kerjasama dengan kebijakan sektor lainnya (misal perumahan dan transportasi) (Nurrokhman, 2019). Sesuatu hal yang kontradiktif apabila kelompok yang notabene menghuni ruang-ruang marjinal perkotaan harus bertempat tinggal jauh dari pusat kota. Hingga saat ini, solusi berhuni yang masih menjadi pilihan ideal pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di perkotaan adalah tipologi rumah susun. Rumah susun adalah bentuk intensifikasi lahan perkotaan agar bisa lebih kompak, terpadu dan mampu menampung dan menolerir kepadatan tinggi, baik daya tampung penduduk maupun aktivitasnya. Dalam UU Cipta Kerja, pengembang diberikan kemudahan untuk berpartisipasi dalam pengembangan rusun ini.
Keadilan Rekognitif: Kelompok Prioritas
Siapa kelompok prioritas penyediaan perumahan layak huni? Dari pertanyaan ini maka perhatian perlu diarahkan pada aspek keadilan rekognitif, yaitu perlunya segmentasi yang multi dan spesifik yang dapat menyasar pada beberapa kelompok masyarakat, sesuai dengan kemampuan dan tingkat partisipasi sekaligus dampak akibat ketidakadilan sosial. Bencana lingkungan akan dialami secara berbeda oleh komunitas perkotaan yang berbeda, tergantung pada status sosial ekonomi dan lokasi fisik mereka. Karena itu, masyarakat yang paling rentan terhadap dampak bencana lingkungan dan mengalami ketidakadilan sosial harus menjadi fokus utama pemecahan masalah akses terhadap pelayanan dasar yang dibutuhkan (perumahan, air dan sanitasi). Proses rekognisi terhadap kelompok-kelompok rentan atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ini adalah proses untuk mengakui akan keber-ada-anya. Dengan pengakuan tersebut, maka keadilan representatif dapat diterapkan, yaitu mereka dapat menentukan sendiri dengan berpartisipasi dalam menentukan tingkat kebutuhan pelayanan dasar, terutama perumahan.
Partisipasi sebagai Keadilan Representatif
Partisipasi masyarakat sebagai bentuk keadilan representatif merupakan perubahan paradigma dalam perumusan kebijakan untuk meningkatkan daya lentur/ketangguhan lingkungan. Proses partisipatif dalam pembangunan saat ini harus lebih fokus pada kelompok-kelompok marjinal yang paling sulit mengakses sumber daya, karena merekalah yang paling terdampak atas ketidakadilan lingkungan dan sosial (Mcmillan et al., 2022). Di dalam UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, proses partisipasi adalah bagian dari azas dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dokumen-dokumen pengendalian seperti KLHS, Amdal, UKL/UPL harus mengadopsi prinsip partisipasi dalam perencanaannya. Namun demikian, pasca ditetapkannya UU tentang Cipta Kerja (revisi, penetapan dan turunanya), proses partisipasi ini dinilai semakin dikurangi, khususnya dalam penyusunan Amdal. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan Amdal yang pada UU No.32/2009 yang terdiri dari masyarakat yang terkena dampak, akademisi, pemerhati, dan yang terpengaruh oleh kebijakan Amdal tersebut, dipersempit dengan hanya pelibatan masyarakat yang terdampak langsung saja. Memang lebih efisien dalam proses, namun belum dapat menjamin hasil yang lebih optimal.
Pada akhirnya, keadilan representatif sejatinya adalah muara dari pembangunan masyarakat menengah bawah dalam pembangunan khususnya di perkotaan. Dengan eksistensi keadilan ini, solusi pemecahan masalah kebutuhan dasar perkotaan dapat diatasi secara mandiri dan terpadu, dengan bentuk pengaturan atau kelembagaan yang ditetapkan oleh masyarakat itu sendiri. Kampung kota (istilah hunian yang tumbuh organik di perkotaan) dapat lebih mudah dilakukan penataan apabila keberadaannya bisa ‘diakui’ sebagai salah satu kekuatan sosial kota yang perlu ditingkatkan kualitasnya. Sekian.
Referensi
Brodi, S. (2013). The Characteristics, Causes, and Consequences of Sprawling Development Patterns in the United States.
Nature Education Knowledge, 4(5).
Mcmillan, R., Kocsis, J., & Daniere, A. (2022).
Rights, justice and climate resilience: Lessons from fieldwork in urban Southeast Asia.
Environment and Urbanization, 34(1), 170–189. https://doi.org/10.1177/09562478211035644
Nurrokhman, A. (2019, Agustus). Urban Sprawl di Indonesia dan Kegagalan Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Dinamika Permukiman dan Pembangunan Wilayah di Indonesia, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta.
Wagle, P., & Philip, K. (2022). Climate justice is social justice: Articulating people’s rights to the city in Mumbai.
Environment and Urbanization, 34(2), 331–348.
https://doi.org/10.1177/09562478221113632
UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No.2 Tahun 2022 menjadi Undang-Undang
UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup
UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
https://www.merdeka.com/uang/backlog-perumahan-di-indonesia-1271-juta-perlu-program-15-juta-rumah-per-tahun.html
https://pu.go.id/berita/atasi-backlog-kementerian-pupr-berikan-subsidi-sebanyak-222586-unit-rumah-pada-ta-2022