KRAKATOA.ID (VOA) — Indonesia memiliki ribuan etnis dengan budaya yang tersebar pada 17 ribu lebih pulaunya, sebagian memiliki perpaduan budaya. Etnis Tionghoa termasuk di antara etnis yang menggabungkan kebudayaan nenek moyangnya dengan kebudayaan Jawa dalam bentuk wayang, yang dikenal dengan Wayang Thithi.
Keragaman budaya Indonesia telah menarik para periset sosial dan budaya di Amerika Serikat (AS) sejak lama. Pada akhir Oktober 2023, tiga universitas di AS yaitu Universitas Yale, Universitas Wesleyan dan Universitas Connecticut menggali dan memaparkan bagaimana perpaduan budaya Tionghoa dengan budaya Jawa di Indonesia terwujud dalam salah satu jenis wayang Jawa yang disebut Wayang Thithi.
Ki Aneng Kiswantoro, adalah seorang dosen jurusan Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, sekaligus juga dalang yang membawakan cuplikan Wayang Thithi ini di ketiga universitas tersebut dalam bentuk, pertunjukan singkat, iringan musik dan wayang sinema. Ia menjelaskan mengenai Wayang Thithi ini.
“Aspek cerita mengambil dari aspek cerita China, dan aspek pertunjukannya itu mengambil style Wayang Purwa. Di sini ditunjukkan bahwa WaCinWa (Wayang Cina-Jawa) sebelumnya sesuai dengan literasi yang saya baca dulu, Pak Gan Thwan Sing berkarya di Yogyakarta, dia pertunjukannya memakai gamelan selendro pelog seperti wayang kulit purwa dan juga diikuti beberapa instrumen China,” papar Ki Aneng.
Di Indonesia Wayang Thithi bisa dilihat di Museum Sono Budoyo, Yogyakarta. Museum budaya Jawa lainnya di Yogyakarta, Ullen Sentalu, ingin memperkenalkan lebih jauh wayang ini kepada publik dengan informasi lebih lengkap baik dalam sejarah maupun perkembangannya.
Daniel Haryono dari Museum Ullen Sentalu mengatakan Wayang Thithi menjadi bukti bagaimana silang budaya dalam pertunjukan wayang ini menunjukkan keharmonisan masyarakat Indonesia di dalam ranah budaya.
“Dalam seni dan budaya itu kita sangat harmonis memang dalam politik, dalam bisnis mungkin saling bersaing atau beda agenda kalau di dalam “culture” itu sangat kondusif sekali, dan kita sangat mendukung program pemerintah bahwa kita itu tidak mungkin menjadi “super power” di militer dalam ekonomi mungkin bisa, tapi kalau dalam ‘culture we are super power’,” kata Daniel.
Profesor Matthew Issac Cohen, dari Universitas Connecticut di Department of Dramatic Arts, atau jurusan Seni Drama, mengatakan wayang ini muncul di daerah Yogyakarta pada akhir abad ke-19, dalam versi yang dilestarikan di Sono Budoyo di Yogyakarta. Kemudian pada 1924 diangkat lagi atau direvisi lagi oleh Gan Thwan Sing seorang dalang keturunan Tionghoa.
Cohen mengatakan Wayang Thithi merupakan hasil akulturasi yang bahasanya bukan lagi Hokkian melainkan Bahasa Jawa.
Ia juga mengatakan Wayang Thithi yang terdapat di Universitas Yale berasal dari era yang berbeda dengan Wayang Thithi yang ada di Museum Sono Budoyo, Yogyakarta.
“Jadi dulu karena datanya belum lengkap orang tidak bisa membedakan antara dua set wayang antara yang ada di Sono Budoyo dan di Yale University, tapi berdasarkan dokumen-dokumen yang saya temukan ternyata yang di Sono Budoyo jauh lebih tua dari yang di Yale University,” tuturnya.
Wayang Thithi pada abad ke-19 sering ditampilkan di kuil-kuil Tionghoa dan acara-acara khusus warga Tionghoa di Jawa, namun menghilang selama era Orde Baru dan baru mengemuka kembali dalam dalam 20 tahun terakhir ini. Secara rutin pemerintah Yogyakarta menampilkan pertunjukan wayang ini setiap tahun.
Universitas Yale, Universitas Wesleyan dan Universitas Connecticut yang memiliki jurusan seni dan budaya, tertarik akan sejarah sosial dan silang budaya yang terwakili oleh wayang ini.
Para akademisi dan praktisi kesenian dan museum sekarang berusaha mempelajari kembali sejarah Wayang Thithi dengan melakukan penelitian bersama para periset AS. Museum Wayang Universitas Yale menyambut baik pertukaran pengetahuan dan sejarah pertunjukan ini serta perubahan sosial yang menyertainya di masyarakat. [my/em]