Beberapa pakar mengatakan serangan Israel ke Isfahan, Iran, Jumat pagi merupakan bagian dari upaya memperluas konflik di Timur Tengah karena sudah kehilangan muka dalam perang berkepanjangan di Gaza.
KRAKATOA.ID, JAKARTA — Matahari belum lagi bersinar penuh di kota Isfahan, Iran, ketika pemerintah mengaktifkan sistem pertahanan udara yang melindungi dari serangan udara. Beberapa pesawat tempur Iran pun dengan cepat mengudara menarget sejumlah obyek terbang.
Kantor berita Associated Press mengutip pernyataan panglima militer Iran, Jendral Abdolrahim Mousavi, yang mengatakan “ledakan di langit Isfahan pagi ini terkait dengan diaktifkannya sistem pertahanan udara terhadap obyek mencurigakan yang tidak menyebabkan kerusakan.”
Mousavi dan pejabat-pejabat Iran lainnya tidak secara langsung mengakui kemungkinan Israel berada di balik serangan yang terjadi tepat pada hari ulang tahun Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei yang ke-85.
Namun situasi di Timur Tengah memang sedang memanas pasca serangan rudal dan pesawat nirawak bersenjata Iran ke Israel pada 13 April lalu, yang disebut Iran sebagai pembalasan atas serangan Israel ke kompleks kedutaannya di Damaskus, Suriah pada 1 April. Saling serang ini terjadi di tengah terus berkecamuknya perang Israel-Hamas di Gaza yang menurut Kementerian Kesehatan Palestina di wilayah itu telah menewaskan lebih dari 33.000 warga, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Berbicara dalam pertemuan G7 di Capri, Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani mengatakan Amerika telah menerima informasi dari Israel “pada menit-menit terakhir” sebelum serangan di Isfahan, kota di mana terdapat fasilitas nuklir Iran. Menteri Luar Negeri Amerika Antony Blinken tidak membantah hal itu, namun menegaskan “kami tidak terlibat dalam operasi serangan apa pun.”
Pengamat: Israel Ingin Perluas Konflik dan Selamatkan Muka
Diwawancarai VOA melalui telpon, Nanto Sriyanto PhD, pengamat hubungan internasional di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai serangan Israel ke Isfahan, Iran, Jumat pagi (19/4) jelas merupakan bagian dari upaya Israel memperluas konflik karena sudah kehilangan muka dalam perangnya di Gaza. Bahkan bisa jadi serangan itu bertujuan untuk mengaburkan perang yang terus berkecamuk di Gaza, tambahnya.
“Sejauh ini jelas hampir semua masyarakat internasional mengutuk dan melihat itu bukan sebuah perang, tapi itu adalah sebuah genosida dan itu sudah melanggar hukum dasar humaniter,” ujarnya.
Doktor lulusan La Trobe Universitas, Australia, ini mendasari penilaiannya itu dari upaya Amerika dan sejumlah negara lain yang telah berulangkali menyerukan kepada Israel untuk melakukan gencatan senjata dalam perang di Gaza, dan kemudian agar negara itu menahan diri menghadapi serangan rudal dan pesawat nirawak Iran pada 13 April lalu.
Meskipun Amerika terkesan membela Israel, terlebih dengan sikapnya memveto resolusi yang diusulkan Aljazair ke Dewan Keamanan PBB untuk menerima Palestina sebagai anggota penuh badan dunia itu, Nanto mencatat pernyataan Wakil Duta Besar Amerika Untuk PBB Robert Wood yang mengatakan veto itu “tidak mencerminkan penolakan Amerika terhadap kenegaraan Palestina, tetapi merupakan pengakuan bahwa hal itu hanya akan terjadi jika ada negosiasi langsung di antara kedua belah pihak.”
Seluruh negara, termasuk Amerika sekali pun, tambah Nanto, merasakan dampak meningkatnya konflik Iran-Israel. Yang paling nyata adalah kenaikan harga minyak mentah dunia dan terganggunya arus lalu lintas barang dan jasa. Jika konflik bergulir menjadi perang terbuka, jelas ekonomi dunia yang membayar harga paling mahal.
Sekutu Israel dan Iran Diminta Meyakinkan Masing-Masing Pihak Untuk Menahan Diri
Diwawancarai secara terpisah, pengamat Timur Tengah di Universitas Indonesia Yon Machmudi PhD menilai insiden terbaru ini sebagai hal yang serius, terlebih jika kelak melibatkan penggunaan senjata nuklir.
“Tentu sangat mengkhawatirkan kondisinya apabila kemudian benar-benar senjata (nuklir) itu digunakan. Dampaknya pasti akan sangat luas dan kita tahu Israel juga memiliki senjata nuklir. Kalau tidak ada upaya untuk membatasi dikhawatirkan akan memicu perang yang lebih besar karena dua-duanya (Israel dan Iran.red) sudah saling melakukan serangan balasan,” ujarnya saat diwawancarai VOA beberapa jam setelah serangan itu.
Negara-negara sekutu Iran dan Israel sedianya dapat meyakinkan kedua pihak untuk tidak melanjutkan serangan, tambah Yon. Amerika harus mampu meyakinkan Israel untuk menahan diri, sementara Rusia dan China meyakinkan Iran untuk tidak membalas dengan serangan baru.
Meskipun demikian Yon menilai serangan militer langsung Iran terhadap Israel pada 13 April lalu, yang belum pernah terjadi sebelumnya itu, harus menjadi pelajaran bahwa Iran tidak akan lagi membiarkan Israel atau negara mana pun menyerang fasilitas, tokoh dan warganya tanpa pembalasan. Yon menduga konflik Iran-Israel dapat saja bergulir terus jika tidak ada kesepakatan diantara kedua negara untuk meredam konflik itu.
Israel Serang Kedubes Iran di Damaskus, Iran Balas Serang Israel dengan Drone
Saling serang antara Iran dan Israel ini bermula dari serangan udara Israel ke komples Kedutaan Besar Iran di Damaskus, Suriah, pada 1 April lalu, yang menewaskan tujuh perwira IRGC (Koprs Garda Revolusi Islam Iran) termasuk dua jenderal. Negara Mullah itu membalas serangan tersebut dengan mengirim ratusan rudal dan pesawat nirawak bersenjata ke Israel pada 13 April lalu untuk menyasar dua pangkalan udara dan satu fasilitas intelijen yang dinilai menjadi lokasi perencanaan dan pelaksanaan serangan ke Damaskus.
Berbicara di Dewan Keamanan PBB pada hari Jumat (18/4), Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian menjelaskan lima alasan mengapa pihaknya melancarkan serangan ke Israel.
“Pertama dan yang terutama, serangan militer Iran pada 13 April lalu dilakukan karena kami tidak memiliki pilihan lain. Kedua, serangan itu merupakan tanggapan terhadap serangkaian serangan dan agresi terus menerus yang dilakukan rezim Israel dalam bentuk serangan rudal terhadap fasilitas-fasilitas Iran, terutama kantor kedutaan kami di Suriah. Ketiga, serangan itu bertujuan untuk memenuhi hak kami untuk mempertahankan diri sesuai hukum internasional,” jelasnya.
Alasan keempat yang dikemukakan Amir-Abdollahian adalah serangan itu “memperhatikan kriteria non-agresi terhadap tempat dan warga sipil,” dan kelima, “serangan difokuskan hanya terhadap dua pangkalan militer Israel yang digunakan rezim itu untuk menyerang kantor kedutaan kami.”
Utusan Tetap Israel di PBB Gilad Erdan membalas dengan mencemooh Iran dan mengatakan “kita bicara tentang Iran, negara yang memastikan Hamas dapat melancarkan pembantaian pada 7 Oktober lalu, yang menyediakan persenjataan pada Hizbullah supaya menghujani kota-kota Israel dengan rudal dan yang mempersenjatai Houthi dengan rudal jelajah yang menyerang kapal-kapal dagang. Ini rezim Ayatollah yang melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel, anggota PBB, kurang dari satu minggu lalu.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi adalah salah satu pejabat tinggi yang meminta semua pihak menahan diri dan melakukan de-eskalasi. Retno juga meminta negara-negara besar menggunakan pengaruhnya guna mencegah terjadinya eskalasi. Secara khusus Retno juga menghubungi Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian melalui telpon. [fw/em]