KRAKATOA.ID, BANDARLAMPUNG – Kerja sama antara Pemerintah Provinsi Lampung dan PT Food Station Tjipinang Jaya (Perseroda), BUMD milik Pemprov DKI Jakarta, bukan sekadar urusan pasokan beras dan jagung. Di balik itu, tersimpan peluang besar bagi petani lokal Lampung untuk naik kelas—terhubung langsung dengan pasar utama nasional yang selama ini kerap hanya dijangkau oleh tengkulak dan rantai distribusi panjang.
Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal, saat menerima kunjungan kerja manajemen PT Food Station di ruang kerjanya, Senin (19/5/2025), menegaskan bahwa sinergi ini merupakan langkah nyata memberdayakan petani lokal, sekaligus memperkuat sistem pangan nasional dari akar rumput.
“Kami ingin petani Lampung tidak hanya memproduksi, tapi juga menjadi bagian dari sistem distribusi yang adil dan menguntungkan. Jika rantai pasoknya efisien, mereka akan merasakan langsung dampaknya,” kata Gubernur Mirza.
Menurutnya, saat ini Lampung memiliki surplus beras lebih dari 766 ribu ton, sementara kebutuhan dalam provinsi hanya sepertiganya. Hal ini menjadikan Lampung sebagai produsen pangan strategis yang bisa menyuplai wilayah padat penduduk seperti Jakarta dengan harga bersaing dan kualitas terjamin.
Namun, tantangannya bukan hanya soal produksi—melainkan soal akses. Kerja sama dengan PT Food Station membuka peluang distribusi langsung dari gapoktan, koperasi tani, atau BUMDes ke BUMD pembeli tanpa perantara yang merugikan.
“Dengan kemitraan langsung ini, kita ingin memperpendek rantai distribusi. Petani lebih untung, harga lebih stabil, dan konsumen di Jakarta pun diuntungkan,” tambah Mirza.
Direktur Utama PT Food Station, Karyawan Gunarso, mengamini pentingnya membangun kemitraan jangka panjang dengan petani dan pemerintah daerah. Ia menyebut Lampung sebagai salah satu provinsi yang paling siap dan potensial untuk menjadi mitra strategis suplai pangan DKI Jakarta.
“Kami melihat komitmen kuat dari Pemprov Lampung dalam membangun pertanian yang berkelanjutan. Ini jadi dasar kuat untuk kemitraan yang saling menguntungkan,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya tidak hanya melihat komoditas, tapi juga kesiapan kelembagaan di tingkat desa, dari mulai pengelolaan pasca panen, penyimpanan, hingga logistik dan transportasi ke Ibu Kota.
Kemitraan ini, jika dijalankan secara konsisten, dinilai sebagai jalan tengah antara kebutuhan pangan nasional dan kesejahteraan petani lokal—dua hal yang sering kali bertolak belakang dalam sistem pangan konvensional.***






