KRAKATOA.ID, BANDAR LAMPUNG – Pemerintah Provinsi Lampung mengisyaratkan arah baru bagi industri tapioka nasional: transformasi menuju industri hijau yang berkelanjutan. Hal ini mengemuka dalam acara pengukuhan pengurus Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) Provinsi Lampung periode 2025–2030 oleh Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, di Balai Keratun, Senin (19/5/2025).
Pengukuhan ini tak hanya menjadi momentum konsolidasi pelaku industri, tetapi juga penanda awal reformasi industri berbasis singkong yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memperhatikan dampak lingkungan dan sosial.
“Hari ini kita bicara industri tapioka bukan hanya soal produksi dan ekspor, tapi bagaimana Lampung bisa menjadi model industri pangan yang ramah lingkungan, adil, dan berkelanjutan,” tegas Gubernur Mirza.
Menurutnya, industrialisasi tanpa keseimbangan ekologis hanya akan menjadi bom waktu. Karena itu, Pemprov Lampung kini mendorong pengolahan limbah singkong yang lebih bertanggung jawab, penggunaan energi terbarukan, serta kolaborasi riset dengan akademisi untuk menciptakan teknologi pengolahan rendah emisi.
Lampung sebagai produsen singkong terbesar di Indonesia—dengan total produksi 7,9 juta ton (2024)—dianggap memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh industri singkong tidak merusak lingkungan.
“Kita tidak bisa lagi hanya mengejar volume. Harus ada nilai tambah, dan nilai itu tidak boleh mengorbankan alam,” tambah Mirza.
Langkah konkret Pemprov Lampung juga terlihat dari Instruksi Gubernur No. 2 Tahun 2025 tentang harga dasar ubi kayu, yang tidak hanya melindungi petani dari fluktuasi pasar, tetapi juga memberi insentif pada praktik pertanian ramah lingkungan.
Ketua PPTTI Lampung, Welly Soegiono, menyatakan kesiapannya mengarahkan anggotanya—yang terdiri dari 39 perusahaan—untuk mulai mengadopsi standar industri hijau, termasuk sistem kemitraan yang adil, efisiensi energi, dan pengurangan limbah.
“Kami sadar, kalau kita ingin bertahan di pasar global, maka aspek keberlanjutan dan traceability (jejak rantai pasok) sudah bukan pilihan lagi, tapi keharusan,” ujarnya.
Welly juga menekankan pentingnya kemitraan inklusif antara pengusaha dan petani, termasuk upaya memutus rantai tengkulak agar margin keuntungan petani meningkat.
Dalam kesempatan tersebut, pemerintah pusat melalui Kemenko Pangan juga menyampaikan komitmennya untuk menjadikan singkong sebagai komoditas prioritas strategis, termasuk mendorong masuknya dalam kategori Lartas (Larangan Terbatas) demi melindungi pasar dalam negeri dari serbuan produk impor.
“Lampung memiliki posisi sentral bukan hanya sebagai produsen, tapi sebagai penggerak transformasi industri pangan yang tangguh dan adaptif terhadap perubahan zaman,” ujar Kus Prisetiahadi, Asisten Deputi Kemenko Pangan.
Melalui sinergi antara regulasi, inovasi teknologi, dan kemitraan sosial, Lampung mengarahkan industri tapioka tidak hanya menjadi motor ekonomi, tapi juga simbol masa depan industri pangan Indonesia yang tangguh, inklusif, dan lestari.***