Selubung Patung, Toleransi dan Pelajaran dari Singkawang

Patung Bunda Maria ditutup terpal viral di sejumlah media sosial sepekan terakhir. Penutupan yang ditengarai dilakukan paksa pihak tertentu ini menjadi pengingat bahwa toleransi masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia.

KRAKATOA.ID, YOGYAKARTA — Kasus penutupan Patung Bunda Maria di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta diselesaikan lewat pertemuan sejumlah pihak terkait. Penyelenggara Agama Katolik, Kementerian Agama Kabupaten Kulonprogo, Yohanes Setiyanto memastikan suasana di tingkat lokal berjalan secara kondusif.

“Di lokasi sangat adem. Yang tidak adem, hanya di medsos saja,” kata Setiyanto kepada VOA, Minggu (26/3).

Setiyanto berharap, ada pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini. Pendirian bangunan keagamaan, apapun itu, harus dikoordinasikan terlebih dahulu. Meski di sisi lain, Kemenag setempat menyadari bahwa edukasi yang lebih detil perlu diberikan, baik kepada masyarakat umum maupun masyarakat Katolik.

“Mungkin ada masyarakat Katolik yang tidak tahu bedanya tempat ibadah, rumah ibadah, rumah retret, rumah pembinaan. Tidak tahu konsultasinya ke mana, perizinannya ke mana. Itu perlu edukasi ke sana,” lanjut Setiyanto.

Setiyanto memastikan, protes terhadap patung itu justru datang dari warga luar kabupaten tersebut.

Kulonprogo dan Toleransi

Kulonprogo sebenarnya sejak lama dikenal toleran. Data kabupaten menyebut, sekitar 93 persen masyarakatnya beragama Islam, 4,7 persen Katolik dan 1,3 persen Kristen. Namun, di wilayah ini setidaknya ada empat tempat ziarah umat Katolik, dua di antaranya sangat terkenal, yaitu kawasan Sendangsono dan Boro.

Suasana sepi di Padukuhan Degolan, berbanding terbalik dengan riuh rendah perdebatan warganet. Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus, di mana patung Bunda Maria setinggi enam meter diletakkan, berada di tepi jalan kecil. Lansekap kawasan itu naik turun mengikuti kontur perbukitan.

Kompleks ini dibangun oleh Yakobus Sugiharto, pengusaha asal Kulonprogo yang sukses di Jakarta dan ingin membuat tempat peristirahatan terakhir di tanah kelahiran. Dia kemudian membeli sebidang tanah, berdampingan dengan makam umum milik warga. Istri Sugiharto telah dimakamkan di pemakaman umum itu.

Sugiharto lalu mendirikan sejumlah bangunan, yang akhirnya mengepung makam umum milik warga. Hanya tersisa jalan selebar sekitar 1,5 meter untuk akses ke makam itu. Masyarakat yang awalnya setuju, Sugiarto mendirikan bangunan untuk keperluan pribadi, mulai bereaksi ketika berbagai fungsi tambahan muncul belakangan. Termasuk, ketika dia mendirikan patung Bunda Maria di halaman tengah Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus.

Kondisi ini rupanya tercium anggota organisasi masyarakat keagamaan, dan mendatangkan polemik lebih dalam. Setelah melalui rapat warga, disepakatilah penutupan patung menggunakan terpal. Proses penutupan oleh pihak keluarga pemilik itu direkam, dan video rekaman inilah, dilengkapi dengan berbagai narasi, yang akhirnya menyulut reaksi warganet.

BACA JUGA :  Kolaborasi Pertama antara Singapore Tourism Board dan Pakuwon Group untuk Meningkatkan Pengalaman Ritel bagi Wisatawan Indonesia

Sikap Kementerian Agama

Setelah menjadi polemik, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ikut berkomentar ketika dikerubuti wartawan di halaman Istana Kepresidenan, Jumat (25/3).

“Yang menutup, yang punya sendiri. Menurut mereka, memang mendirikannya juga tidak melalui prosedur, proses yang memang harus dilalui, ditempuh, dan dengan sadar, setelah melakukan musyawarah yang punya sendiri yang menutup, bukan warga,” kata Yaqut.

Menurut Yaqut, sebagai bangunan keagamaan, kompleks ini belum melewati proses perizinan yang semestinya.

Senada dengan Yaqut, Plt. Dirjen Bimas Katolik Kemenag A.M. Adiyarto Sumardjono juga menyebut soal perizinan yang masih dalam proses. Patung Bunda Maria dan Sasana Adhi Rasa, belum diberkati dan mendapat izin dari Kevikepan Yogyakarta Barat, Keuskupan Agung Semarang.

“Artinya tempat doa ini dan patung Bunda Maria sebagai tempat religi Katolik mungkin belum memenuhi syarat pendirian sebuah taman doa atau tempat ziarah atau religi Katolik,” kata Adiyarto dalam rilis resmi Kementerian Agama.

Penyelenggara Agama Katolik, Kantor Kemenag Kabupaten Kulon Progo menyusun laporan resmi terkait persoalan ini. Dari penelusuran yang dilakukan, diyakini bahwa kompleks ini masih berstatus rumah pribadi, bukan kapel, bukan taman doa, juga bukan tempat ziarah, dan hal ini sudah disampaikan kepada Pastor Vikep Yogyakarta Barat.

Sugiharto sebenarnya telah meminta Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko melakukan pemberkatan pada 5 Februari 2023 lalu, tetapi tidak dipenuhi karena satu dan dua hal yang harus diselesaikan.

Pro-Kontra Selubung Terpal

Pihak kepolisian juga satu suara dengan Kemenag soal penutupan patung ini. Keluarga pemilik kompleks bangunan ini diklaim bersedia melakukan penutupan itu, bahkan terpal didatangkan dari Jakarta.

“Tidak ada tekanan terhadap rumah doa untuk melakukan penutupan dengan terpal. Penutupan itu adalah murni inisiatif dari pemilik rumah doa. Kami pun juga telah tadi melakukan kontak langsung dengan pemilik rumah doa di Jakarta bahwa betul itu adalah inisiatif dari beliau,” papar Kapolres Kulon Progo AKBP Muharomah Fajarini, dalam pernyataan resmi di depan media pada Kamis (23/3) malam.

Pernyataan itu dikuatkan Sutarno, adik kandung Yakobus Sugiharto.

“Untuk menunggu penyelesaian administrasi, untuk sementara patung tersebut kami tutup dengan tidak ada paksaan dari manapun,” ujar dia.

Namun, sejumlah pihak tidak percaya begitu saja pernyataan soal kerelaan menutup itu. SETARA Institute misalnya, mengatakan bahwa publik sulit percaya pada klarifikasi pihak kepolisian bahwa penutupan itu bersifat sukarela, tanpa ada desakan dari pihak luar.

BACA JUGA :  Unila Terima Dokumen Lahan Hibah Pemprov 150 Hektare

“Dalam konteks tersebut, SETARA Institute mendorong aparat pemerintah, termasuk aparat keamanan, untuk tidak tunduk pada kelompok-kelompok intoleran,” ujar Bonar Tigor Naipospos, Wakil Dewan Nasional SETARA Institute dalam pernyataan resmi.

Pernyataan lain datang dari Jaringan Advokasi untuk Keberagaman Yogyakarta. Dalam rilis resmi, jaringan ini menolak tegas segala bentuk tindakan intoleransi di Yogyakarta. Mereka juga mendesak seluruh stakeholder, agar menjaga dan memberikan ruang aman bagi masyarakat, khususnya masyarakat rentan dan minoritas.

Jaringan juga mendesak kepolisian bertindak presisi sesuai amanat Kapolri, dan Kapolres Kulonprogo harus membuka jelas informasi dan fakta lapangan yang ada. Sementara Gubernur DIY diminta memanggil dan memastikan ormas yang diduga intoleran, mematuhi amanat konstitusi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Mayoritas Masyarakat Toleran

Masyarakat Indonesia, mayoritas adalah masyarakat toleran, kata Dr Dian Nur Anna, dosen di Studi Agama-Agama, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

“Saya rasa semangat masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, toleransi, saling menghargai, membentuk masyarakat yang tenang, itu menunjukkan masyarakat toleran. Dalam kehidupan sehari-hari, itu nampak,” kata Dian.

Memang, Dian mengakui dalam perspektif tertentu, toleransi dapat diukur tinggi rendahnya. Selain itu, di tengah masyarakat toleran pun, akan muncul satu-dua kasus intoleran, karena memang sangat sulit membentuk masyarakat yang seratus persen toleran.

Tantangannya ada dalam upaya menjaga toleransi yang sudah ada itu. Salah satunya ada di tangan pemuka agama masing-masing, yang menjadi jembatan komunikasi. Selain itu, Dian memberi resep, toleransi akan terjaga jika masyarakat tidak mudah terprovokasi. Setiap kabar harus diteliti dan dicermati lebih dalam, untuk menyatukan persepsi, membentuk komunitas yang saling rangkul dan saling memahami.

Dalam pengalaman Dian, dialog antarpemeluk agama adalah salah satu kunci. Banyak persoalan bisa diselesaikan, melalui perbincangan bersama.

“Misalnya, ada banyak salah paham antarpemeluk agama. Kadang ketika kita mengadakan diskusi, baru ketahuan ada salah paham itu,” ujarnya.

Dian mengingatkan, agama akan menjadi isu sensitif ketika dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, seperti politik dan ekonomi.

“Kalau berhubungan dengan agama, segala sesuatu itu menjadi menarik. Kadang, orang tersulut emosi, gara-gara disinggungkan oleh agama. Atau banyak orang menggunakan agama sebaga alat untuk justifikasi,” tambahnya.

Kehati-hatian bersikap menjadi penting, karena di Indonesia agama masih memperoleh posisi sangat penting. Untuk membuat sebuah peristiwa kecil menjadi masalah besar, cukup mengaitkannya dengan isu agama. Dian menegaskan, meski mayoritas masyarakat Indonesia toleran, kasus intoleransi tetap akan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

BACA JUGA :  Kapolda Lampung Perintahkan Lidik dan Sidik Penyelewengan BBM Subsidi

Belajar dari Singkawang

Jika ingin belajar kehidupan toleran, Singkawang adalah kota tujuan yang tepat. Setidaknya dua kali kota ini menerima gelar sebagai wilayah paling toleran di Indonesia. Ada banyak resep diterapkan di kota itu, salah satunya adalah peran makanan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Sri Sudono Saliro, dosen di Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin, Sambas, Kalimantan Barat.

Peran makanan dalam toleransi ini bermula dari konsep rumah makan itu sendiri. Ada beberapa rumah makan, dikelola beberapa orang dari suku dan agama berbeda. Menu yang mereka sediakan juga beragam. Meja tempat menikmati beragam menu itu, adalah meja-meja besar dimana konsumen dari aneka latar belakang akan duduk bersama. Sembari makan, obrolan pun tercipta tentang keseharian mereka.

“Kalau di Singkawang ini orang ngumpul, dan itu letak toleransinya di meja makan. Dengan menghidangkan beberapa menu di meja makan, itu nanti pembeli pun juga akan berbaur,” kata Sudono kepada VOA.

Proses obrolan di meja makan dari konsumen beragam latar belakang inilah yang bertahun-tahun membentuk masyarakat toleran.

Menurut data yang ada, Singkawang mayoritas didiami warga suku Tionghoa dan dari sisi agama, mayoritas beragama Islam.

Selain toleransi yang dibangun melalui interaksi keseharian di warung makan, peran makanan juga nampak dalam perayaan hari besar. Dalam perayaan hari raya, umat beragama akan saling berkirim makanan khas masing-masing. Tugas pengantaran makanan ini diserahkan ke anak-anak, untuk mendidik mereka arti perbedaan.

“Nah, anak itu sudah terdidik sejak kecil. Masyarakat sendiri memiliki tradisi yang mendorong mereka untuk berbaur,” ujar Sudono.

Di luar itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya kerukunan juga berperan. Namun, Sudono meyakini, tradisilah yang membentuk masyarakat Singkawang sebagai komunitas yang toleran. Sikap toleran itulah yang melahirkan banyak produk hukum, seperti peraturan daerah atau peraturan wali kota, bukan sebaliknya.

Namun, Sudono mengakui, riak-riak kecil dalam yang mengganggu toleransi kadang tetap muncul. Dalam posisi seperti inilah aparat, pemerintah, produk hukum atau bahkan tugu toleransi, tidak bisa memecahkan masalah.

“Di Singkawang, tumbuh kembangnya sikap gotong royong, saling menjaga toleransi beragama itu melekat. Itu penguat dari Singkawang, bukan unsur dari luar. Apa yang hidup di masyarakat itu lebih penting,” tegas Sudono.

Kulonprogo, dan banyak wilayah lain di Indonesia, memang harus belajar lebih kepada Singkawang. Namun, sekali lagi, setiap wilayah juga tidak boleh kehilangan kepercayaan, bahwa mayoritas masyarakat Indonesia sebenarnya toleran.***