KRAKATOA.ID, BANDARLAMPUNG — Pepatah “Belajarlah sampai ke Negeri Cina” tampaknya tepat untuk menggambarkan sosok Hasyika Nabila Maharani, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi angkatan 2020 Universitas Lampung (Unila).
Perempuan dengan segudang prestasi ini menjadi satu-satunya perwakilan Provinsi Lampung sebagai delegasi Pertukaran Pemuda Antar-Negara (PPAN) ke Australia, oleh Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora), selama dua bulan di tahun 2024.
PPAN merupakan ajang untuk menggali dan mengembangkan potensi pemuda daerah sekaligus potensi pemuda nasional melalui kerja sama internasional.
Program ini juga mencakup pertukaran ke negara lain seperti Korea Selatan dan Singapura, serupa dengan Indonesia-Korea Youth Exchange Program (IKYEP) dan Singapore Indonesia Youth Leaders Programme (SIYLEP).
Hasyika mengakui, selama tinggal di Lampung, banyak anak muda merasa takut untuk bermimpi besar seperti sekolah di luar negeri atau mengikuti program internasional.
Menurutnya, anak muda di Lampung belum memiliki daya saing setinggi provinsi di pulau Jawa. “Aku melihat banyak anak muda berpotensi besar. Cuma mereka belum terpapar informasi, termotivasi, dan punya mentor yang bisa bantu mencapai itu semua,” jelasnya.
Untuk mengatasi hal ini, Hasyika mendirikan Scholarspeak, sebuah komunitas yang berfokus pada pemerataan pendidikan dan pengajaran bahasa Inggris. Melalui kolaborasi dengan Just Speak, kursus bahasa Inggris di Lampung, ia berharap bisa mendapatkan banyak ilmu dan relasi dari delegasi lain di Australia untuk mengembangkan komunitasnya tersebut.
“Aku berharap bisa jadi jembatan anak muda Lampung untuk mendapatkan paparan internasional, terutama kemampuan speaking dan pengembangan softskill,” tambahnya.
Hasyika juga bercita-cita untuk magang di luar negeri melalui program Australia-Indonesia Youth Exchange Program (AIYEP), yang memberikan kesempatan magang selama sebulan di Australia dan sebulan di provinsi lain di Indonesia.
Proses seleksi untuk program ini dilakukan dalam dua tahap, seleksi provinsi dan nasional. Di tingkat provinsi, peserta harus mengumpulkan CV, esai, dan proposal pengembangan komunitas, serta mengikuti tes tertulis dan wawancara.
Sepuluh kandidat terbaik kemudian mengikuti seleksi nasional yang melibatkan pengumpulan dokumen, wawancara berbahasa Inggris, dan penilaian oleh Kemenpora dan Indonesia Youth Diplomacy.
Bagi Hasyika, tantangan terbesar adalah melawan rasa pesimistis dan ketakutan, terutama saat harus menyelesaikan skripsi, bekerja, dan memberdayakan komunitas secara bersamaan. Dukungan dari mentor, alumni PPAN, teman-teman, dan keluarga sangat membantunya tetap berjuang dan bersemangat.
Hasyika berharap dapat belajar banyak dari program ini dan menjadi jembatan bagi teman-temannya di Lampung untuk meraih mimpi mereka. Ia berpesan agar jangan takut untuk mencoba. Kalaupun gagal, setidaknya tidak akan mulai dari nol dan minimal dapat pengalaman.
“Cari lingkungan yang bisa mendukung kamu, cut off toxic relationship, dan terus jadi anak muda di atas rata-rata. Capek itu pasti, pesimistis apalagi. Tapi, kita punya mimpi besar. Masa usahanya entar-entar,” ujarnya. ***