KRAKATOA.ID, LAMPUNG SELATAN – Mata air Way Biyah yang terletak di Desa Canti, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, kembali menjadi perhatian warga setempat. Sumber air yang telah ada sejak zaman nenek moyang ini bukan hanya memiliki nilai sejarah, tetapi juga dipercaya memiliki khasiat luar biasa, terutama dalam mengobati berbagai penyakit, termasuk gangguan pada mata.
Nasruddin, salah satu tokoh pemuda di desa tersebut, menjelaskan bahwa mata air Way Biyah memiliki keistimewaan yang sudah turun-temurun diyakini oleh masyarakat.
“Bahkan ini garis-garis di batu di sumber air di sini pun ada maknanya, khasiatnya kalau diguyurin air, terus kita tadahin di mata, dia sakit mata, katarak, burem-burem, dia bisa sembuh,” kata Nasruddin saat ditemui Krakatoa.id, Minggu (16/12/2024).
Ia menambahkan bahwa air dari mata air ini telah membantu banyak orang yang mengalami gangguan penglihatan, dari yang sederhana hingga yang lebih serius seperti katarak.
Menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat, mata air ini memiliki asal-usul yang cukup mistis.
“Katanya dulu pernah ada sih syeh mereka itu kehausan, jadi ditutupin batu, keluarlah mata air ini. Dari zaman dulu, dan kakek saya juga dah ngomong ini tidak bisa dimain-mainkan, tidak terlalu bebas, tapi bebas untuk siapapun boleh mandi. Ya bahasanya kalau kita tidak bisa sembarangan lah,” lanjut Nasruddin.
Kisah tersebut mengisahkan bagaimana air ini muncul sebagai anugerah pada saat yang sangat dibutuhkan, dan sejak saat itu dijaga kelestariannya oleh warga setempat.
Tak hanya memiliki nilai medis, mata air Way Biyah juga terkait dengan tradisi budaya yang telah ada sejak lama. Nasruddin menjelaskan bahwa nenek moyang mereka menggunakan air dari mata air ini untuk berbagai keperluan, termasuk untuk menjaga kesehatan rambut.
“Ya ini lobang-lobang ini nenek kita, buyut kita dulu itu mandinya bawa kelapa busuk, jadi pakai sampo mereka, makanya rambutnya nenek kita, buyut-buyut kita dulu mereka kalau bahasa Lampungnya klutuk, kelapa yang ada buahnya yang ada di dalamnya itu dibawa ke sini ditumbuk langsung disampokan mereka, itulah samponya zaman dulu tuh itu,” ungkap Nasruddin.
Proses tradisional ini, menurutnya, menghasilkan tekstur khas pada lobang-lobang yang ada di sekitar mata air, yang kemudian digunakan sebagai tempat untuk mencuci rambut dengan kelapa yang sudah ada buah di dalamnya yang sudah ditumbuk halus.
“Jadi sehingga ditumbuk-tumbuk bertahun-tahun jadinya clegukan-clegukan begini, lobang-lobang ini asalnya begitu,” lanjutnya.

Keberadaan mata air ini tidak hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga simbol dari keterhubungan erat antara alam dan budaya yang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Masyarakat Desa Canti tetap menjaga keberadaan dan kelestarian mata air Way Biyah, meskipun dengan sikap penuh kehati-hatian dan rasa hormat terhadap warisan leluhur mereka.
Mata air Way Biyah kini juga mulai menarik perhatian wisatawan yang tertarik dengan cerita sejarah dan khasiatnya. Namun, masyarakat tetap mengingatkan agar pengunjung tidak sembarangan dalam memanfaatkan air ini, karena menurut mereka, keberkahan dan manfaat air tersebut hanya akan terasa bagi mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur.
Dengan segala keunikan dan makna yang terkandung di dalamnya, Mata Air Way Biyah terus menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Desa Canti, sebagai warisan budaya yang tetap dihargai hingga kini.***