KRAKATOA.ID, BANDARLAMPUNG — Di tengah pilihan pekerjaan yang begitu banyak, profesi guru masih menjadi idaman bagi masyarakat. Sebuah stigma yang terbangun bahwa guru adalah profesi yang membanggakan, siapa yang tidak ingin menjadi seorang guru? Profesi yang menawarkan begitu banyak kelimpahan berkat dan cinta dari banyak orang. Guru menjadi leader dalam segala hal yang terjadi dalam suatu masyarakat, maka hal itu juga menjadi beban tersendiri bagi mereka yang sudah memutuskan menjadi seorang guru. Sebuah kecintaan masyarakat terhadap profesi guru menjadikan ini dilema karena tidak semua menjalaninya.
Eva Yuliana, S.Pd. bercerita singkat kepada krakatoa.id mengenai kisah dirinya yang saat ini masih aktif mengajar mata pelajaran matematika.
Menjadi seorang guru, bukanlah prioritas dalam cita-cita dan impian saya. Kisah saya bermula saat diadakan pameran pendidikan di sekolah saya. Saya iseng mendaftarkan diri untuk masuk ke Universitas-Universitas yang ada di Jakarta. Namun, orangtua saya lebih merestui saya jika mengambil kuliah di Yogyakarta dan jurusan yang diambil adalah guru. Saya menurut saja apa kata orangtua. Orangtua saya tidak ada yang berprofesi guru. Namun, orangtua saya mengharapkan anak-anaknya mengambil profesi guru, terutama anak perempuan.
Sedikit terjadi kekhawatiran ketika harus menentukan sebuah pilihan, namun orangtua memberikan penjelasan yang semakin memberikan keyakinan bahwa profesi ini menjadi sebuah harapan yang tentu pastinya akan mendatangkan kebaikan. Orangtua memberikan sebuah kepastian untuk melangkah menjadi guru. Setelah melalui proses permenungan, akhirnya dipilihlah jurusan Pendidikan Matematikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Saya memiliki dua saudara kandung, laki-laki dan perempuan. Tiga bersaudara ini kuliah dii Universitas yang sama yaitu di salah satu Universitas Swasta di Yogyakarta. Adik laki-laki mengambil jurusan Teknik Informatika dan adik perempuan mengambil jurusan pendidikan Bahasa Inggris.
Proses panjang yang harus dilewati untuk menyelesaikkan kuliah, saya juga bekerja freelance untuk mengisi waktu luang, meski resikonya kuliah jadi terabaikan. Pada tahun 2016 saya kembali fokus untuk menyelesaikan studi karena jika tidak segera selesai maka akan menjadi beban biaya yang berkepanjangan. Hal lain yang membuat saya sadar harus segera menyelesaikan skripsi adalah adanya teguran dari dosen pembimbing yang mengandaikan saya seperti domba yang hilang.
Kurang lebih tiga bulan skripsi tidak dikerjakan dan sama sekali tidak melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing Profesor Suwarsono, akhirnya skripsi kembali saya kerjakan dengan penuh semangat untuk menyelesaikannya. Selama satu bulan berproses menyelesaikan skripsi dan hampir setiap hari mengikuti bimbingan dengan Profesor Suwarsono, akhirnya pada bulan April 2016 saya bisa ikut Wisuda Sarjana dan bulan Juli 2016 mendapat kesempatan mengajar di SMA Xaverius Bandar Lampung hingga saat ini.
Tentang seorang guru muda.
Kalau ga jadi guru, saya ga akan tahu ini.
Ga bakal tahu rasanya dipanggil Ibu padahal belum jadi Ibu.
Ga bakal tahu rasanya disayang dan menyayangi murid dengan tulus.
Ga bakal tahu rasanya harus selalu tersenyum di depan murid padahal hati lagi kacau.
Ga bakal tahu rasanya memberi motivasi padahal diri sendiri butuh motivasi.
Ga bakal tahu rasanya mendidik anak padahal belum punya anak.
Dan masih banyak lagi.
Sekali lagi sebuah pesan singkat saya sampaikan bahwa guru yang baik itu puncaknya justru tidak sekedar memahami tapi menginspirasi. Semoga dari tulisan sederhana ini bisa menginspirasi dan memotivasi banyak orang. Tuhan Memberkati.***
Kontributor : Eva Yuliana Sijabat, S.Pd.
Editor : Dewi Kristiani