VOA — Ombudsman mempertanyakan penunjukkan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin, sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Penunjukan ini dipersoalkan karena Andi Chandra adalah perwira aktif. Untuk itu, Ombudsman merekomendasikan langkah korektif, seperti disampaikan anggota Ombudsman Robert Endi Na Jaweng.
“Karena dia sudah berada di sana. Sudah di posisi sebagai penjabat, maka dia segera untuk memproses pensiun dininya. Ini kan pilihan yang paling mungkin dan paling realistis dan itu yang sebenarnya kita tunggu selama kurang lebih 30 hari ke depan,” kata Robert, dalam diskusi yang diselenggarakan lembaga Perludem, Jumat (5/8).
Tiga lembaga, yaitu Indonesian Corruption Watch (ICW), Kontras dan Perludem, telah melaporkan keputusan pemerintah ini kepada Ombudsman. Sebagai respons, Ombudsman telah merekomendasikan langkah perbaikan, dan pemerintah memiliki waktu 30 hari kerja – atau sekitar akhir Agustus – untuk memperbaikinya.
Ombudsman melihat, sikap kaku terlalu jauh diterapkan dalam kasus ini, misalnya dengan memberhentikan penjabat yang sudah bekerja tersebut. Karena itulah, pilihan untuk mengurus pensiun dini bagi penjabat Bupati Seram Bagian Barat, jauh lebih realistik.
Robert membandingkan langkah pemerintah ketika menunjuk Mayor Jenderal TNI (Purn) Achmad Marzuki sebagai penjabat Gubernur Aceh. Achmad menyelesaikan proses pensiun dini, kemudian diangkat sebagai staf ahli Mendagri, dan setelah itu baru diserahi tugas baru sebagai penjabat Gubernur Aceh.
Ombudsman melihat selama ini pemerintah melihat aturan yang ada secara parsial. Kemendagri berpedomen, bahwa anggota TNI/Polri dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah, jika memenuhi persyaratan. Padahal, ada undang-undang lain yang harus dibaca secara komprehensif, misalnya UU TNI, UU Polri, dan UU ASN.
“Sangat jelas di sana, bahwa prinsipnya tentara dan polisi itu hanya bekerja di lingkungan profesi tentara dan polisi. Kalaupun kemudian “dikaryakan”, maka secara limitatif sudah tertera hanya bisa bekerja di sepuluh kantor atau bidang, yang terkait dengan urusan keamanan,” tambah Robert.
Sejumlah kantor atau bidang yang bisa diisi anggota TNI/Polri aktif antara lain Lembahas, Dewan Pertahanan, hingga Badan SAR.
“Sangat eksplisit tertera. Sangat limitatif nama lembaga atau bidang kerjanya. Di luar bidang ini, mereka harus pensiun dini. Bukan mereka yang masih dalam ikatan jabatan dinas aktif,” ujar Robert lagi.
Ombudsman juga mengoreksi langkah Kemendagri, yang mengatur tata cara pengangkatan penjabat melalui Permendagri. Karena penjabat gubernur diangkat oleh presiden, maka seharusnya dasar hukumnya setidaknya Peraturan Pemerintah. Tidak mungkin, seorang presiden melaksanakan aturan hukum yang ditetapkan oleh bawahannya, dalam hal ini Mendagri.
Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz, mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan MK 67/2021. Dalam putusan tersebut, MK memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki aturan pelaksanaan pengangkatan penjabat kepala daerah yang menjamin transparansi, akuntabilitas dan bersifat partisipatif. Sejauh ini, Kemendagri belum mendasarkan pengangkatan penjabat kepala daerah, melalui aturan baru sesuai perintah MK tersebut.
“Sampai hari ini, ada banyak sekali penjabat kepala daerah yang sudah dipilih, yang sudah memimpin, bahkan sudah banyak membuat kebijakan-kebijakan tertentu di daerah, ini tidak didasarkan pada aturan pelaksana yang sudah dimandatkan oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Kahfi.
Tentu saja, konsisi ini melanggar amanat Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
“Tentu, ini juga harus dianggap sebagai satu pelanggaran hukum karena putusan Mahkamah Konstitusi itu sifatnya erga omnes (berlaku bagi semua orang -red), dia sifatnya abstrak umum, dan juga dia menciptakan suatu kondisi baru,” tegas Kahfi.
Jika Kemendagri hingga saat ini masih menggunakan kerangka hukum yang lama, menurut Kahfi seharusnya sudah tidak diperbolehkan, karena MK sudah memerintahkan harus ada dasar hukum yang baru.
Kahfi juga mengingatkan karena masa jabatan penjabat kepala daerah kali ini panjang dan memiliki kewenangan banyak, maka dalam konteks ini penunjukannya harus memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi.
“Kalau kita lihat, misalnya di pasal 18 ayat 4 UUD 1945, bahwa kepala daerah itu dipilih secara demokratis, dan ini tidak ada batasan apakah kepala daerah yang dipilih oleh Pilkada ataupun penjabat, itu semuanya harus dipilih secara demokratis,” tandasnya.
Mendagri Harus Jalankan
Guru Besar Hukum Tata Negara, Universitas Padjajaran, Prof Susi Dwi Harijanti meminta Kemendagri mematuhi rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman. Dia menyebut, ada tiga cara untuk mendorong kepatuhan terhadap rekomendasi itu.
“Yang pertama adalah kepatuhan sukarela dari pejabat atau badan administrasi negara yang bersangkutan. Kemudian, menyampaikan rekomendasi yang tidak dipatuhi atau tidak dijalankan kepada DPR dan presiden. Kemudian ketiga, mempublikasikan terutama dalam laporan tahunan,” kata Susi.
Meski begitu, ada pesimisme yang disampaikan melihat pengalaman selama ini terkait kepatuhan pemerintah terhadap rekomendasi Ombudsman.
“Kita tahu bagaimana nasib Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP), dan juga rekomendasi Ombudsman pada perkara 57 pegawai KPK,” tandasnya.
Dalam sudut pandang hukum tata negara, kata Susi, seharusnya proses pengangkatan kepala daerah dilaksanakan sesuai dasar hukum yang ada. Saat ini, tidak ada pilihan bagi Kemendagri, selain melaksanakan LAHP atau rekomendasi Ombudsman.
“Dan ini harus dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, karena Mendagri harus meletakkan fungsi otonomi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dia bukan hanya ada di dalam ranah kekuasaan eksekutif saja, tetapi dia ada di dalam konteks besarnya yaitu negara hukum yang demokratis,” tegas Susi.***