KRAKATOA.ID, LAMPUNG BARAT — Mei Kusuma (24) tak pernah menyangka bahwa perjalanan pendakian pertamanya ke Gunung Seminung, Lampung Barat, akan meninggalkan kenangan yang menakutkan sekaligus mendalam. Sebagai pendaki pemula, dia bersama tiga temannya—Fery, Daru, dan Lilik—memulai perjalanan mereka pada sore hari, selepas salat Jumat, 26 Oktober 2022. Mereka berempat memulai pendakian dari jalur Lumbok, berharap bisa mencapai puncak meski belum memiliki banyak pengalaman.
Perjalanan mereka dimulai dari Batanghari, Lampung Timur, tempat berkumpulnya mereka. Mei, yang berasal dari Desa Titiwangi, Candipuro, ditemani oleh teman-temannya yang berasal dari wilayah Lampung Timur. Namun, perjalanan yang penuh harapan itu segera berubah menjadi pengalaman horor yang sulit dilupakan.
Ketika mereka tiba di Pos 4 sekitar pukul 20.00 WIB, hujan gerimis yang terus-menerus mengguyur membuat mereka terpaksa mendirikan tenda untuk beristirahat.
“Kami berempat semua pemula. Dua teman saya, fisiknya agak lemah, jadi kami memutuskan untuk berhenti di Pos 4. Kami rasa hanya kami berempat yang ada di sana,” kenang Mei kepada Krakatoa.id, Selasa (21/1/2025).
Tanpa adanya pemandu atau pengalaman mendalam, mereka merasa beruntung bisa sampai ke pos tersebut, meski cuaca kurang bersahabat. Namun, keputusan mereka untuk mendirikan tenda di dekat jalur pendakian tanpa berpikir panjang, justru membawa mereka pada pengalaman yang tak terduga.
“Malam itu, teman saya (Lilik) yang tidur di tenda terbangun dengan perasaan sesak, seperti ada yang menekan dadanya. Ia bercerita bahwa dalam tidurnya, ia bermimpi didatangi sosok yang menyerupai ibunya,” ujar Mei dengan suara pelan. Dalam mimpi itu, sosok yang menyerupai ibunya menegur, “Dirikan tenda kok di tengah jalan toh nak?”
Ketakutan yang mereka rasakan semakin menjadi ketika teman Mei tersebut merasa ada sesuatu yang menempel dengan erat di tubuhnya, membuat dadanya sesak dan sulit bernapas. Begitu terbangun, rasa takut itu masih membekas. Namun, mereka memilih untuk tidak memperpanjang ketakutan dan memutuskan untuk tidak meneruskan pendakian.
Meskipun mereka tidak mencapai puncak Gunung Seminung, karena dua teman mereka yang fisiknya kurang mendukung, Mei merasa sedikit menyesal. “Kami jauh-jauh datang, tapi tidak sampai ke puncak,” ujarnya, mengenang perjalanan yang belum tuntas.
Di samping itu, mereka juga mendapati tenda mereka yang digunakan untuk menyimpan perlengkapan terlihat seperti telah digigit oleh hewan.
“Ada bekas gigitan di tenda, dan kami rasa itu musang. Gigitan itu tidak terlalu besar,” ujar Mei dengan sedikit gelengan kepala.
Teman-temannya meyakini bahwa kejadian-kejadian aneh tersebut adalah bentuk peringatan dari penjaga Gunung Seminung.
“Mungkin itu adalah teguran karena kami mendirikan tenda di tengah jalur pendakian tanpa izin,” tambah Mei, mengingatkan sesama pendaki untuk lebih berhati-hati dan menghormati alam serta tempat yang mereka singgahi.
Kemudian seminggu kemudian mereka mendengar kabar mengerikan. Beberapa pendaki yang mendaki di gunung dengn ketinggin 1.881 mdpl ini dilaporkan tersambar petir, satu di antaranya meninggal dunia, sementara lainnya mengalami luka-luka.
“Kami sangat bersyukur karena meskipun cuaca tidak mendukung, kami bisa kembali dengan selamat,” kata Mei, mengingat kembali perasaan lega yang mereka rasakan saat itu.
Meski perjalanan itu membawa kesan horor, Mei dan teman-temannya tak gentar untuk kembali. “Ada rencana sih untuk ke sana lagi, karena kami penasaran,” kata Mei, namun kali ini mereka bertekad untuk lebih berhati-hati dan menghormati alam yang mereka daki.
Perjalanan Mei dan teman-temannya adalah pengingat bahwa gunung bukan hanya sekadar tempat pendakian, tapi juga tempat yang harus dihormati. Etika, kesiapan fisik, dan rasa hormat terhadap alam adalah kunci agar setiap perjalanan ke puncak bisa dilakukan dengan aman—dan tanpa membawa pulang kenangan horor yang menakutkan.***