YOGYAKARTA (VOA) — Salah satu bapak bangsa, Buya Ahmad Syafii Maarif meninggal dunia di Yogyakarta, pada Jumat (27/5) pukul 10.15 WIB. Buya menghembuskan nafas terakhir setelah menjalani perawatan selama 13 hari akibat sakit jantung yang dideritanya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, memberikan keterangan secara khusus kepada media di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, tempat Buya menjalani perawatan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir memberikan keterangan terkait wafatnya Buya Syafii Maarif di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta, Jumat (27/5). (Foto: Nurhadi)
Haedar memastikan bahwa Buya telah menerima perawatan dari tim dokter terbaik yang dimiliki RS PKU Muhammadiyah Gamping dan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Tidak hanya itu, atas instruksi Presiden Joko Widodo, tim dokter kepresidenan juga terlibat aktif dalam perawatan Buya. Seluruh tim dokter ini, menurut Haedar, telah berusaha semaksimal mungkin dalam menunaikan tanggung jawab medis mereka.
“Dan para dokter juga dengan senantiasa bekerja sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya, sudah melimpahkan segala keahlian dan ilmunya, tetapi Allah telah menggariskan ajalnya, di mana Buya Syafii Maarif dipanggil Allah dalam usia 87 tahun,” kata Haedar.
Pejuang Tangguh Sejak Muda
Almarhum Buya lahir dengan nama lengkap Ahmad Syafii Maarif. Dia lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau, pada 31 Mei 1935, dari keluarga saudagar gambir. Saat berusia satu setengah tahun, Buya harus kehilangan ibunya yang meninggal dunia.
Pada 1947, Buya menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, tetapi baru bisa melanjutkan kembali pendidikannya pada 1950 akibat kondisi ekonomi keluarga yang terbatas. Lulus dari Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau, Buya memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta pada 1953. Menyelesaikan sekolahnya pada 1956, Buya kemudian merantau menjadi guru di Lombok selama satu tahun, lalu memutuskan kembali ke Sumatra Barat, sebelum akhirnya kembali menginjakkan kaki ke Pulau Jawa.
Buya menyelesaikan pendidikan sarjana penuh di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial di IKIP atau yang kini dikenal sebagai Universitas Negeri Yogyakarta. Ia akhirnya menjadi dosen di kampus tersebut dan mendapat kesempatan untuk menempuh program Pascasarjana di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat.
Kiprahnya di dunia pendidikan tak berhenti sampai di situ. Buya lalu kembali melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor pada Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Di Chicago inilah, pemikirannya berkembang melalui diskusi intensif bersama cendekiawan Islam Nurcholish Madjid dan Amien Rais, yang menjabat dosen UGM pada saat itu.
Buya dipercaya menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005. Dia juga mendirikan Maarif Institute, lembaga kajian dan pemikiran Islam. Buya dikenal akan semangat toleransinya, dan suara-suara kritis yang mengedepankan kemanusiaan dan persatuan bangsa.
Bangsa Indonesia Kehilangan
Haedar mengatakan bahwa Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka sedalam-dalamnya atas wafatnya Buya.
“Kita doakan beliau husnul khatimah, diampuni kesalahannya, diterima amal ibadahnya, dan ditempatkan di surga Allah SWT,” tambah Haedar.
Buya, lanjut Haedar, dikenal sebagai tokoh yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak dan keadaban. Sikap itu diterapkan mulai di internal Muhammadiyah, dan juga pada umat dan bangsa, bahkan dalam relasi antarbangsa.
“Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang sangat humanis. Bahkan dengan orang-orang kecil beliau sangat dekat. Di minggu terakhir ini, beliau selalu memperhatikan siapapun mereka yang dianggap sebagai saudara kita yang perlu perhatian,” ucapnya lagi.
Muhammadiyah memandang Buya Syafii, sebagai bapak bangsa yang berwawasan inklusif, melintasi dan selalu konsen pada pemikiran maju serta bagi bangsa dan negara.
“Suara beliau untuk mengajak elit bangsa menjadi negarawan tidak pernah berhenti. Karena itu, hari ini, dengan kesaksian semua, kita lepas kepergian Buya Syafii Maarif ke haribaan Allah dengan keikhlasan dan ketulusan, dan mohon dimaafkan apabila ada kesalahan beliau,” papar Haedar.
Di laman media sosial, Presiden Joko Widodo yang dikenal dekat dengan Buya, turut menuliskan rasa dukanya.
“Dua bulan lalu, saya sempat menjenguk Buya Syafii di Sleman, saat beliau baru keluar dari rumah sakit seusai perawatan selama beberapa hari. Saat itu, beliau sudah sehat dan terlihat bugar. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Buya Syafii. Selamat jalan Sang Guru Bangsa,” tulis Jokowi.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD juga menyampaikan belasungkawa atas berpulangnya Buya.
“Umat Islam dan bangsa Indonesia kehilangan lagi salah seorang tokoh besarnya. Semoga Buya Syafii diampuni segala dosanya dan mendapat surga-Nya,” kata Mahfud.
Sementara itu, tak ketinggalan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf, juga menyampaikan ucapan dukanya.
“Turut berdukacita atas meninggalnya Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif. Semoga beliau husnul khatimah, diterima amal ibadahnya, dan diampuni kesalahannya. Aamiin,” tulis Yahya di laman media sosial.
Akibat Kondisi Jantung
Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Gamping, dr. H. Ahmad Faesol Sp.Rad., M.Kes., M.M.R menyebut, Buya Syafii dua kali dirawat di rumah sakit tersebut. Pada pertengahan Maret, Buya Syafii mengalami serangan jantung dan kemudian membaik. Buya kembali masuk ke rumah sakit pada 14 Mei lalu.
“Saat itu, setelah tim medis koordinasi dengan tim medis kepresidenan, bahkan sudah datang dan melihat situasi, disepakati beliau menjalani perawatan disini. Alhamdulillah, berjalan 13 hari di sini, dan Allah menghendaki yang terbaik, beliau pada hari ini dipanggil,” papar Faesol. [ns/rs]