KRAKATOA.ID, BANDARLAMPUNG -— Di tengah derasnya arus modernisasi sistem keuangan dan tantangan kompetisi dengan lembaga perbankan, Induk Koperasi Kredit Indonesia (INKOPDIT) mengambil langkah tegas: mengembalikan jati diri koperasi ke akarnya—nilai, prinsip, dan semangat pemberdayaan. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Pengurus INKOPDIT, Dr. Wara Sabon Dominikus, M.Sc, dalam area Open Forum, Seminar & RAT Inkopdit TB 2024 di Grand Mercure Lampung, Kamis (26/11/2025).
“Koperasi kredit bukan hanya soal simpan pinjam, tapi tentang pembangunan manusia seutuhnya. Kita harus kembali ke nilai-nilai dasar koperasi,” tegas Dominikus.
Dominikus mengangkat isu penting yang selama ini terabaikan: ketimpangan antara ideologi dan teknokrasi koperasi. Ia menyebut, sejak awal 2000-an, pelatihan dan pendidikan koperasi lebih banyak menekankan aspek teknis seperti akuntansi dan manajemen keuangan, sementara nilai-nilai koperasi justru dikesampingkan.
Sebagai respons, INKOPDIT mendorong pendekatan pendidikan koperasi yang transkronitif—pendidikan yang tidak hanya membekali keterampilan, tetapi juga menanamkan kesadaran dan identitas gerakan.
Tak hanya revolusi nilai, INKOPDIT juga melakukan transformasi digital sebagai bagian dari strategi adaptif terhadap perkembangan zaman. Salah satu inovasi yang akan segera diluncurkan adalah Suvita, platform transaksi lintas koperasi yang dikembangkan secara mandiri oleh tim internal.
“Suvita adalah bukti bahwa koperasi bisa punya teknologi sendiri. Ini menjadi alternatif ATM yang efisien, aman, dan berbasis solidaritas antaranggota,” jelas Dominikus.
Sistem ini akan menghubungkan anggota koperasi dari berbagai CU (Credit Union) di seluruh Indonesia, memungkinkan transaksi tanpa bergantung pada layanan bank konvensional.
Selain Suvita, INKOPDIT juga telah memutakhirkan sistem akuntansinya menggunakan standar SAK-EPi (Entitas Privat), menyusun pedoman kebijakan keuangan baru, dan mencatat peningkatan performa dengan opini wajar tanpa pengecualian dari Kantor Akuntan Publik.
Namun, Dominikus tak menutup mata terhadap tantangan besar yang dihadapi gerakan koperasi ke depan: Krisis ideologi koperasi akibat dominasi pendekatan teknis, tingginya suku bunga koperasi dibandingkan KUR pemerintah (KUR 3–6%, Kopdit 14–15%) dan ancaman program koperasi top-down seperti Koperasi Merah Putih yang berisiko gagal jika tak lahir dari kebutuhan dan kesadaran anggota.
“Jangan sampai koperasi dibentuk demi program politik, bukan karena keinginan masyarakat. Kalau gagal, yang rusak bukan cuma program, tapi kepercayaan pada koperasi itu sendiri,” ujarnya tajam.
Meski dihadapkan pada tantangan besar, INKOPDIT membuktikan ketangguhannya. Dengan 3,9 juta anggota dan aset nasional Rp43 triliun, koperasi kredit tetap menjadi bentuk konkret dari gerakan rakyat yang mandiri, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan jangka panjang.
“Koperasi adalah alat untuk memperbaiki kehidupan bersama, bukan sekadar lembaga keuangan,” pungkas Dominikus.***